Mengapa Orang Cerdas Cenderung Ateis ? 

Pertanyaan tentang mengapa orang yang lebih cerdas menjadi ateis sebenarnya sudah muncul sejak zaman Romawi dan Yunani Kuno. Hubungan antara kecerdasan dan agama dapat dijelaskan jika agama dianggap sebagai naluri, dan kecerdasan merupakan kemampuan seseorang dalam melampaui naluri.

Adalah Edward Dutton dari Ulster Institute for Social Research di Inggris, dan Dimitri Van der Linden dari Rotterdam University di Belanda, dalam sebuah artikel di Evolutionary Psychological Science Jurnal Springer.

Sangat direkomendasikan baca juga profil Edward Dutton

disini: https://rationalwiki.org/wiki/Edward_Dutton dan

disini: https://en.wikipedia.org/wiki/Edward_Dutton_(anthropologist)

Kedua penulis ini mengusulkan adanya Model Asosiasi Ketidakcocokan-Kecerdasan. Model ini mencoba menjelaskan mengapa bukti sejarah dan data survei terbaru di berbagai negara dan antar-kelompok mendukung adanya sifat yang berbanding terbalik antara kecerdasan dan agama.

Model tersebut didasarkan pada gagasan mengenai prinsip Savana-IQ milik psikolog evolusioner, Satoshi Kanazawa. Menurutnya, perilaku manusia akan selalu berlabuh di lingkungan dimana nenek moyang mereka berkembang.

Dutton dan Linden berpendapat bahwa agama harus dianggap sebagai suatu naluri atau domain berkembang yang terpisah.

Sementara itu, kecerdasan memungkinkan manusia untuk melampaui naluri mereka. Kemampuan melampaui naluri sangat menguntungkan, karena dapat membantu manusia dalam memecahkan masalah.

“Jika agama adalah domain yang berkembang, maka itu adalah naluri, dan kecerdasan – dalam memecahkan masalah secara rasional – dapat dipahami sebagai kemampuan mengatasi naluri dan merupakan sifat penasaran yang intelektual. Kemampuan itu dapat membuka kemungkinan non-naluriah’, jelas Dutton.

Dalam proposal Model Asosiasi mereka, Dutton dan Linden juga menyelidiki hubungan antara naluri dan stres.

Menurut mereka, naluri manusia cenderung beroperasi ketika stres. Dengan menjadi cerdas, manusia dapat melampaui naluri mereka selama masa-masa penuh tekanan.

“Jika agama memang sebuah domain yang berkembang layaknya naluri, maka akan semakin tinggi pada saat stres. Ketika stres, orang cenderung bertindak secara naluriah. Ada bukti jelas untuk ini,” kata Dutton.

“Ini juga berarti bahwa kecerdasan memungkinkan kita untuk dapat berhenti sejenak dari segala situasi dan konsekuensi yang mungkin timbul dari tindakan kita”, imbuhnya.

Para peneliti percaya bahwa orang yang tertarik pada hal-hal diluar naluri berpotensi menjadi problem solver yang lebih baik.

“Ini penting. Dalam ekologi yang berubah, kemampuan memecahkan masalah akan dikaitkan dengan meningkatnya naluri kita. Hal itu membuat kita tertarik pada ketidak-cocokan evolusioner,” tambah Linden.

Sumber Tulisan :

National Geographic Indonesia

Science Daily

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.