Sejarah: Pelatjuran

oleh : Pol Asuka 

PELACURAN

Kali ini kita akan membahas “pelacuran” dari sudut pandang yang berbeda. Mohon maaf bahan kajiannya berlokasi di seputar istana (kraton – Jawa).

Saya ingin menyandingkan praktek pelacuran (mohon dimengerti pelacuran dalam konteks yang luas, yang menembus batas rumah prostitusi, warung remang-remang dan pelacuran online) pada MASA KINI dengan kehidupan di keraton jamannya raja raja.

Selir, dalam bahasa Jawa halus disebut ‘garwa ampean’. Ampean itu bahasa denotatif-nya adalah KAKI dalam bahasa Indonesia. Garwa ampean, dimaknai sebagai wanita yang telah diikat oleh tali kekeluargaan oleh seorang lelaki (raja atau keturunannya) tetapi tidak berstatus istri. Dalam konteks dunia masa kini, kondisi ini kelihatannya lebih “terhormat” dibandingkan dengan HTS (hubungan tanpa status), wanita simpanan atau wanita piaraan. Kira kira secara substansial, adakah yang membedakan ?…. Fenomena ini sekaligus memberi gambaran kentalnya gender maskulin di nusantara era raja-raja itu.

Selir sendiri merupakan sebuah kelas status, dibuktikan tidak “sembarang orang” bisa menembus tembok istana dan menyabet gelar ‘selir’. Pada usia 10 s/d 12 tahun, calon selir diperkenalkan kepada kalangan istana oleh orangtua mereka, setidaknya yang berpangkat “mantri”. Pada awalnya, calon priyantun dalem ini menjadi penari keraton atau “bêdhaya”. Ketika pada akhirnya mereka menjadi selir, mereka telah naik pangkat. Dahulu, tradisi di Keraton Surakarta, ada abdi dalêm yang mengirimkan anak gadisnya (minimal berusia 12 tahun, sekarang kelas 6 sekolah dasar) ke Keraton. Resminya mereka diminta untuk belajar tari Bêdhaya. Sehingga, mereka kerap disebut “para Bêdhaya”. “Selain menjadi penari, orangtuanya punya NAWAITU dengan mengirimkan anak gadisnya ke Keraton, berharap, agar anaknya dinikahi raja sebagai istri selir” (diungkapkan budayawan Jawa Dani Maharsa).

Jika raja memerintahkan punggawanya, agar membawa seorang ‘peloro loro’, penari Bêdhaya ke kamar, itulah awalnya gadis penari menjadi selir. Keluarga wanita itu akan bangga luar biasa. Sering ungkapan sinis menyebut pelajaran tari bagi para Bêdhaya ini ‘magang’. Saya jadi teringat teman Husin Ludiono yang bertanya : orangtua suku mana yang dengan niat menjebloskan anak-anak perempuannya melacurkan diri. Perempuan yang dijadikan selir berasal dari daerah yang tersohor sebagai ‘lumbung selir’. Laporan penelitian Koentjoro (1989) mengidentifikasi 11 kabupaten ‘lumbung selir’, antara lain : Wonogiri, Jepara, Pati, Blitar, Lamongan, Malang, Banyuwangi dan Grobogan. Bahkan ada punggawa khusus istana yang khusus bertugas mengatur jadwal ‘making love’ dengan memegang teguh prinsip pemerataan dan keadilan sosial vagine.

Beda peran selir dengan permaisuri, Jika permaisuri dapat mendampingi raja pada acara acara kenegaraan dan formal, peran selir kelihatannya memang spesial selangkangan service.

Ada pula selir yang berasal dari masyarakat kelas bawah yang DIJUAL, atau diserahkan keluarganya dengan NAWAITU meningkatkan posisi (sosial-ekonomi) keluarga, atau agar memiliki hubungan darah dengan keluarga istana. Karena mereka yang memiliki hubungan darah dengan istana, kadang mendapatkan tanah perdikan (di bawah vassal), atau minimal bêngkok, tergantung kebijaksanaan belas-kasihan istana.

Pada era kehidupan MODEREN ini, sudah gak ada raja, namun orang yang kaya raya, punya banyak pabrik (perusahaan, rumah studio, prodaksyên haus) atau memiliki jabatan eselon tinggi dalam pemerintahan.

Add a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.